Desember
tlah tiba
Desember
tlah tiba
Kita
bergembira!!
Minggu
pertama Desember yang sekaligus minggu terakhir November saatnya menulis saran
kritik dan masukan sekaligus melakukan cek mengecek nilai yang belum tuntas. Kegiatan
pada minggu pertama Desember juga dimeriahkan dengan adanya drama musikal kelas
XII! Ini sungguh menarik! Sekolah ini benar-benar Jjang! Hebiaat!
Para sahabat |
Aksi dari kakak kelas yang menggetarkan jiwa |
Gak kalah dari drama musikal Dancing In The rain |
Drama Satui pun di mulai |
E cieeee CIEEEEEE |
Jumat barokah yang ngebuat kegiatan ekstrakurikuler menjadi kacau karena pembina eh anggota ektra pada ikutan hebring! Bagus nak! Kegiatan semacam ini bagus untuk memupuk rasa percaya diri kalian!
Kegiatan lain di hari-hari menjelang Ujian Semester Satu adalah bantuin Miss Rara mengecek hasil praktikum siswa KIR. Ini artinya, bisa icip2 telor asin yang dibuat siswa.
Muka tegang Winda saat mencuci telor |
Antri pang! |
Para lakian sibuk dengan telur asin mereka |
Miss Rara memberi pengarahan secukupnya |
Miss Rara mencoba bertahan dari rayuan maut Tyesia agar nilainya tuntas |
Baik. Setelah cukup dengan telur asin, kita akan membahas kegiatan lain, yaitu memberi saran, kritik, dan masukan pada
pembelajaran saya. Well, emang agak perih ketika ada masukan bahwasanya cara
menjelaskan saya kurang jelas, terlalu cepat, dan tidak mudah dipahami. Duh,
nak ibu seperti butiran debu yang terhempas di padang pasir *mulai kehilangan
arah*. Kritik, saran, dan masukan memang tidak mudah diterima. Akan selalu
terasa nyesek, KZL *bahasa apa pula ini?*, dan tidak enak. Tapi, ini adalah
proses. Kritik, saran, dan masukan adalah bagian dari era keterbukaan bukan?
Haha.
Kita
akan terus berkembang ketika kita terus belajar dan menerima masukan dari orang
lain. Tapi ingat, kita hanya perlu mendengarkan saran, masukan, dan kritik yang
membuat kita mampu meningkatkan kualitas diri kita. Kalau ada omongan yang
membuat down, jatuh dan tidak bisa bangkit lagi *ter-butiran debu* lupakan!
FORGET THAT, DUDE! Dan ini memang tidak mudah. Kita hidup dalam era dimana
komentator sudah menjadi pekerjaan sampingan. Buanyaak banget yang komen-able,
mudah dikomentari, misalnya kenapa si A makan sendiri, kenapa si B gak punya
pacar, kenapa si C gak bisa melupakan kisah kasihnya? Ato kenapa Lee Jong Suk
tidak segera mengkonfirmasi hubungannya ddengan Park Shin Hye?? Gak ada yang
salah dengan komen mengkomen, yang salah adalah ketika komentar itu sudah
mengganggu orang lain. Mengganggu bukanlah ciri masyarakat madani bukan? J
Baik
hakseng! Ssaem akan memperbaiki cara mengajar ssaem *duilah bahasanya*. Ibu
guru akan menjelaskan dengan santai seperti di pantai dan slow seperti di
pulau. Ibu juga akan berusaha menjelaskan dalam bahasa manusia biasa, manusia
biasa, bukan bahasa diseret. Haha. Jadi inget ketika dulu ada teman yang
bilang,”Mika tu kalo cerita gak cetho”. Well, that’s why I have no interest in
teaching. Haha. Tapi nyatanya sekarang? *RASAKAAN**Mengejek diri sendiri*
Daan
untuk membuat kelas ceria penuh canda tawa, ibu guru menyeraah! MENYERAAH!
Spesialisasi ibu guru adalah membuat kelas menjadi TEGANG, HOROR, dan NGERI2
GIMANA GITU *Hahaha*. Ibu guru serahkan pembelajaran yang penuh cerita, penuh
canda kepada guru lain. Hidup harus seimbang, ada yang lucu, ada yang tegang,
menakutkan dan bikin sesak nafas. Haha.
Setelah
memberi masukan saran kritik dll itu, saya mengajukan opsi kepada siswa apakah
semester dua nanti pake LKS atau tidak. Suara terpecah menjadi tiga! Kondisi
mulai rusuh! Suara agar memakai LKS mencapai 5 juta suara! Suara
yang tidak usah pakai LKS berada pada kisaran
satu juta empat ratus ribu rupian! *?!?!?!?* dan suara untuk tetap
menjadi kpopers turut memanaskan suasana!
LKS.
Saya seperti berada dalam dilema yang besar. Teringat ketika dulu bapak pernah
bilang kalo LKS bikin guru tidak produktif.
Jam pertama LKS. Jam terakhir panas LKS. My LKS My Everything-lah! Dan saya
takut jadi bergantung pada LKS. Zaman gak ada LKS, semboyan Ing Ngarso Sung
Tulodo, Ing Madyo Mangun Karyo, Tut Wuri Handayani benar-benar dipraktikkan
oleh guru. Di depan memberi contoh, di tengah menyemangati, dan dibelakang
memberi dorongan tanpa batas! Ini keren sekali bukan dibandingkan hanya
mengandalkan LKS? Bukannya saya tidak setuju dengan adanya LKS, mengingat dulu
saya juga pernah bekerja di penerbitan. Tapi ketika buku pendamping alias LKS
itu dijadikan bahan pokok utama, that’s a problem.
Proses
pembuatan LKS yang saya tahu tidak sederhana, apalagi yang dari Intan Pariwara.
Berat men! Satu bab saja para penyusun diberi waktu 3 hari. Itu dengan tingkat
revisi 80% lebih. Dulu saya sampai mabok ngerjain sampai tengah malam ditemani
oleh suara Oppa yang terus menerus meneriakkan “Minaaah”! Candaan saya dulu
saat berada dalam kondisi teler bikin soal adalah kita para penyusun soal
kayaknya butuh metilon, itu pas zamannya Rafi Ahmad terjerat kasus narkoba
jenis baru. Ato membayangkan kalo kita di Korea, kita pasti sudah mabok soju
saking stresnya. Haha. Kalo di Indonesia ya mabok yakult lah.
Luar biasa sekali proses bikin LKS yang disebut dengan PGPR di Intan Pariawara. Belom kalo
ada perubahan mendadak yang
mempermainkan para penyusun tanpa perasaan. Makin jumpalitan lah kita, ini
terutama ketika masa penyusunan Detik UN. SKL bisa keluar ketika kita sudah saatnya pulang! Hayoloooh! Mabok mabok deh!
Kalo udah sampai tahap editing sih, lumayan
bisa napas kita. Sehari baca satu naskah PGPR mah oke. Iya dibaca doang, tanpa diedit.
Haha. Penerbit lain juga tidak kalah luar biasanya, meski berada di bawah
tingkatan PGPR. Saya suka sebenarnya dengan PGPR karena lengkap dan info
terbaru (rubrik sekilas info kalo dulu) oke punya. Karena tuntutan menyajikan
informasi terbaru membuat para penyusun memutar otak dan mencari info terbaru
yang keren sesuai dengan materi, misalnya mengenai 4 pilar kebangsaan, yaitu
Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika. Menurut ahli kenegaraan
Pancasila tidak bisa dijadikan salah satu dari 4 pilar itu karena Pancasila itu
sudah menjadi dasar negara. Atau informasi mengenai pembatalan UU Koperasi yang
baru karena dianggap berbau korporasi sehingga menghilangkan nafas
kekeluargaan. Belom lagi para penyusun bikin RPP dan Silabus. Benar2 luar
biasa! Yah, hendaknya saya musti bijaksana. Daripada uang 12-13 rebok itu habis
buat beli pentol doang mending buat beli PGPR ya kalo? Tapi juga jangan sampai
PGPR menjadi buku sakral yang tanpanya saya jadi kehilangan arah! Amin.