Wednesday 3 October 2018

Masalah sosial: kerusakan lingkungan


Postingan ini berkaitan dengan Mata Pelajaran Sosiologi dengan KD sebagai berikut.
3.2 Memahami permasalahan sosial dalam kaitannya dengan pengelompokkan sosial dan kecenderungan eksklusi sosial di masyarakat dari sudut pandang dan pendekatan sosiologis. 
4.2 Melakukan respons mengatasi permasalahan sosial yang terjadi di masyarakat dengan cara memahami kaitan pengelompokkan sosial dengan kecenderungan eksklusi dan timbulnya permasalahan sosial. 
Untuk mempelajari Kompetensi Dasar tersebut, saya menggunakan teknik presentasi dilanjutkan dengan pembuatan artikel. Pada awal pembahasan KD, seperti biasa saya paparkan KI-KD sampai tujuan dan metode pembelajaran.  

Yaaaa, dan  sebagai pendidik, masak bisanya cuma nyuruh? Dan sebagai contoh berikut adalah artikel yang berbicara mengenai masalah sosial dengan sub topik: kerusakan lingkungan.



KERUSAKAN LINGKUNGAN, PR KITA BERSAMA
Diatmika Wijayanti

Menurut Kartini Kartono, masalah sosial merupakan semua bentuk tingkah laku yang melanggar adat istiadat masyarakat. Suatu masalah dianggap masalah sosial ketika sebagian besar masyarakat menganggap hal tersebut menganggu, tidak dikehendaki, berbahaya, dan merugikan banyak orang. Dari pengertian masalah sosial menurut Kartini Kartono tersebut diketahui bahwa masalah sosial adalah hal yang tidak diinginkan oleh masyarakat karena menganggu, berbahaya, dan merugikan banyak orang.
            Salah satu masalah sosial adalah pencemaran lingkungan. Pencemaran lingkungan banyak terjadi di berbagai daerah, tidak terkecuali di Kalimantan Selatan. Pencemaran lingkungan adalah tindakan merusak lingkungan baik air, tanah, dan udara yang dilakukan oleh oknum orang, perusahaan, pabrik, atau lembaga lainnya dan mengakibatkan ekosistem alam terganggu. Bisa dilihat dan dibuktikan sendiri, kondisi alam di beberapa daerah di Kalimantan Selatan rusak mengalami perubahan. Daerah yang awalnya hutan sekarang menjadi gundul, terjadi bencana tanah longsor, banjir, adanya bekas lubang tambang yang dibiarkan begitu saja, dan juga banyaknya debu.
Indonesia kaya akan sumber daya alam, termasuk Provinsi Kalimantan Selatan. Kabupaten Balangan, Kalimantan Selatan memiliki potensi kekayaan tambang yang jumlahnya berlimpah dan banyak jenisnya: bijih besi yang mencapai 5.000.000 ton, batu gamping yang mencapai 400.000.000 meter kubik lebih, pospat  mencapai 25.000 ton, pasir kuarsa yang mencapai 2.000.000.000 ton, marmer mencapai 2.000.000.000 meter kubik lebih, dan kaolin sebanyak lebih dari 12.000.000 ton. Sementara itu, di Papua cadangan emas mencapai 2, 8 miliar ton. Saat ini, emas di Papua ditambang oleh perusahaan produsen emas, Freeport Mcmoran Copper and Gold, melalui usahanya PT Freeport Indonesia, meskipun sekarang sebesar 51% saham sudah dimiliki oleh pemerintah Indonesia.
Kembali ke kasus kerusakan lingkungan di Kalimantan Selatan, studi kasus dari Green Peace, salah satu organisasi nirlaba yang berfokus pada masalah lingkungan hidup menyebutkan semenjak beroperasinya PT. Indominco Mandiri di daerah Hulu Sungai Santan, warga merasakan kualitas air sungai semakin menurun yang memberi dampak langsung bagi kehidupan masyarakat lokal. Penurunan kualitas sungai yang ditandai dengan perubahan warna air sungai, diikuti juga dengan matinya ikan-ikan dan masyarakat juga kerap merasakan gatal-gatal saat mandi menggunakan air Sungai Santan.
Pencemaran lingkungan akibat tambang sering dibahas oleh Greenpeace. Pada tahun 2014, Greenpeace meluncurkan laporan berjudul “Terungkap: Tambang Batubara Meracuni Air di Kalimantan Selatan”, yang menjelaskan aktivitas pertambangan batubara yang luas di Provinsi Kalimantan Selatan, telah merusak sumber air, membahayakan kesehatan, dan masa depan masyarakat setempat. Laporan tersebut berupa hasil investigasi lapangan Greenpeace selama kurang lebih enam bulan yang menyajikan bukti kuat perusahaan-perusahaan tambang batubara melakukan tindakan merusak lingkungan seperti membuang limbah berbahaya ke dalam sungai dan sumber-sumber air masyarakat serta melanggar standar nasional untuk pembuangan limbah di pertambangan.
Dalam laporan tersebut tercatat bahwa duapuluh dua (22) dari duapuluh sembilan (29) sample yang diambil oleh Greenpeace dari kolam penampungan limbah dan lubang-lubang bekas tambang dari lima konsesi pertambangan batubara di Kalimantan Selatan ditemukan bahwa air tersebut memiliki derajat keasaman (pH) yang sangat rendah, jauh di bawah standar yang ditetapkan pemerintah. Dari seluruh sampel, 18 diantaranya memiliki derajat keasaman (pH) di bawah 4. Seluruh sampel yang diambil juga terdeteksi mengandung konsentrasi logam berat. Tidak menutup kemungkinan, air di lubang bekas tambang mengalami kebocoran dan berpotensi keluar dari kolam-kolam yang terkontaminasi limbah berbahaya kemudian masuk ke rawa-rawa, anak sungai dan sungai di sekitarnya.
Terkait hal ini, Greenpeace mengeluarkan beberapa rekomendasi dan tuntutan. Pertama, perusahaan-perusahaan pertambangan batubara yang meraup untung dari aktivitas pertambangan yang kotor dan ilegal tersebut harus bertanggung jawab secara hukum dan moral untuk memulihkan lingkungan dari aktivitas ilegal mereka, yaitu mengurangi limbah dari badan-badan air, atau bahkan izin dari perusahaan tersebut harus dicabut.
Kedua, perusahaan yang terbukti melanggar hukum harus bertanggung jawab membiayai operasi pembersihan, bahkan jika izin pertambangan mereka sudah selesai atau dicabut karena masalah air asam tambang akan bertahan selama beberapa dekade. Pemerintah tidak boleh memberi perusahaan pertambangan batubara “izin untuk meracuni” lingkungan dan masyarakat Kalimantan Selatan.
Ketiga, otoritas pemerintahan yang terkait harus memantau dan melakukan investigasi secara lebih mendalam perusahaan-perusahaan pertambangan batubara yang melanggar standard nasional, dan mencemari lingkungan. Penegakan hukum harus diperketat, sanksi harus dipertegas, dan celah-celah regulasi harus ditutup.
Dengan sedemikian negatif kerusakan lingkungan yang terjadi di Kalimantan Selatan apa pendapat dari masyarakat? Masyarakat Kalimantan Selatan tentunya tidak hanya diam. Mereka juga menyuarakan keberatan atas tambang yang merusak lingkungan. Seperti yang dilakukan oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Hulu Sungai Tengah yang mengkhawatirkan dampak lingkungan dan dampak sosial luar biasa, jika Pegunungan Meratus juga dirambah pertambangan, terlebih sudah ada daerah yang mengalami dampak negatif tambang.
Berdasarkan analisa AMAN, salah seorang masyarakat menyatakan dampak buruk penambangan batu bara sudah dirasakan warga Kalsel. Kawasan daratan Kalsel telah hancur, selain hutan gundul karena penebangan kayu secara membabi buta, di kawasan pertambangan besar terdapat beberapa tandon raksasa atau kawah besar bekas tambang menyebabkan bumi menganga yang tak mungkin bisa direklamasi, hingga akhirnya dibiarkan begitu saja. Begitu pula di Satui dimana perusahaan tambang beroperasi terdapat lubang-lubang, meski perusahaan itu relatif berhasil mereklamasinya.
Dari hasil penelitian dan pengamatan secara langsung , dampak yang ditimbulkan dari tambang adalah jelas kerusakan lingkungan. Kerusakan hutan yang mengancam ekosistem alam, terancamnya lingkungan hidup hewan di hutan dan juga manusia, banjir akibat tidak adanya pohon sebagai penyerap air, berkurangnya lahan hijau sebagai paru-paru dunia, banyaknya lubang bekas tambang yang tidak bisa dimanfaatkan, dan longsornya tanah. Dengan demikian, kerusakan lingkungan termasuk masalah sosial karena merupakan hal yang tidak diinginkan oleh masyarakat karena menganggu, berbahaya, dan merugikan banyak orang
Solusinya adalah harus ada kerja sama antara pemerintah dan masyarakat. Pemerintah harus membuat peraturan yang melindungi hutan atau lingkungan di Kalsel, bukan justru memperluas izin pengelolaan hutan yang berakibat negatif bagi ekosistem alam. Masyarakat juga perlu aktif mengedukasi diri mereka sendiri bahwa jangan hanya keuntungan yang dikejar sehingga melakukan pembiaran terhadap perusakan lingkungan.
Solusi lain yang bisa dilakukan adalah melakukan Fitoremediasi. Apa itu fitoremediasi? Fitoremediasi adalah hasil penelitian dari Antun Puspanti, peneliti Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya alam Samboja.  Dalam kajian tersebut dipaparkan bahwa Fitoremediasi sebagai salah satu pendukung kegiatan pengelolaan lahan paska penambangan batubara. Kajian tersebut  termuat pada Prosiding Seminar Hasil-hasil Penelitian “Reklamasi Lahan Pasca Tambang: Aspek Kebijakan, Konservasi dan Teknologi”. Fitoremediasi mampu mendukung kegiatan reklamasi sebagai pengelolaan lahan pasca penambangan batubara akibat sistem pertambangan terbuka (open pit mining) yang banyak diterapkan pelaku pertambangan di Indonesia.
Pada dasarnya, fitoremediasi adalah teknik yang melibatkan tumbuhan berklorofil untuk mengurangi kandungan polutan pada tanah dan air. Teknik ini dianggap cukup menjanjikan sebagai alternatif teknologi untuk membersihkan lingkungan dari polutan karena dinilai efektif, efisien, lebih ekonomis dan bersifat berkelanjutan.

Sumber:

No comments:

Post a Comment

Note: only a member of this blog may post a comment.